Kamis, 22 Oktober 2015

Misi Sebagai Gaya Hidup


Suatu waktu saya menghadiri kamp misi yang banyak dihadiri oleh berbagai lembaga misi se Indonesia. “Saya misionaris dan ladang misi saya di India” begitu seorang kenalan memperkenalkan diri pada saya. Ucapannya membuat saya terkesima sejenak, bisakah saya juga mengenalkan diri sebagai: saya dokter misi, ladang misi saya adalah RSUD Tarakan Jakarta dan RS Siloam Lippo Karawaci ?” Tentu saja saya tidak memperkenalkan diri demikian, tidak pantas rasanya menyebut diri sebagai dokter misi padahal saya bekerja di kota besar dan di RS yang cukup besar di Jakarta

dengan penghasilan yang memadai pula.

Siapakah Pekerja Misi
Bagi kebanyakan orang, pekerja misi adalah mereka yang dikirim khusus oleh lembaga misi tertentu. Pekerja misi adalah seorang pekerja misi penuh waktu di ladang misinya, yang siap menderita, hidup sederhana dan rela hidup berkekurangan demi misinya. Yang berhak menyebut dirinya dokter misi adalah mereka yang bekerja di RS Misi ( yang umumnya di kota kecil) , yang hidup dengan gaji yang sangat pas-pas an. Sedangkan kita, pekerja sekuler , pegawai RS pemerintah atau pegawai RS swasta, bukanlah pekerja misi. Benarkah demikian ? Tidak tahu sejak kapan pengkotak-kotakan ini mulai terjadi. Kalau kita membaca Kisah Para Rasul 1, perintah pergi untuk bermisi diberikan pada semua pengikut Kristus dan perintah itu tidak hanya untuk ujung bumi, tapi juga berlaku di Yerusalem. Misi itulah yang diemban oleh para murid: Petrus tetap di Yerusalem, Filipus ke Samaria dan Tomas konon pergi ke ujung bumi, India. Misi itu pula diemban oleh kaum sekuler jemaat mula-mula, ( jika kita mengotakkannya demikian), yang menghasilkan banyak jiwa dengan cara hidup mereka yang saling mengasihi dan berbagi.

Pengkotak-kotakan ini membuat banyak orang Kristen hidup tidak serius menjalankan misinya. Ketidaksadaran akan tugas misi ini menyebabkan kita hidup hampir sama dengan dunia jika sedang bekerja di bidang sekuler, atau kita tetap hidup benar di pekerjaan kita tetapi jarang serius mendoakan orang-orang di tempat kita bekerja. Sebaliknya, kita baru hidup kudus dan serius berdoa untuk jiwa yang dilayani jika terlibat di kegiatan misi tertentu. Kita lupa dan bahkan merasa tidak perlu akan
dukungan tubuh Kristus lainnya jika kita menjalankan profesi sekuler kita, baru serius mencari dukungan doa jika terlibat dalam pelayanan misi tertentu.

Agenda yang kita lakukan selaku pekerja sekuler hanyalah agenda RS kita. Melayani pasien poliklinik sebaik mungkin, merawat pasien di bangsal dengan kualitas prima, membantu akreditasi RS dan lain sebagainya. Paradigma pekerja sekuler membuat kita lupa menggumulkan dan mengerjakan agenda Allah yang khusus buat kita kerjakan di RS tempat kita bekerja ( ladang misi kita). Tanpa sadar, pengkotak-kotakan peran ini membuat kita seadanya mengemban misi kita
sehari-hari.

Magnit Gaya Hidup
Gaya hidup orang Kristen mempunyai kekuatan yang sangat besar. Aristides, seorang apologist di abad ke 2, menggambarkan kehidupan jemaat mula-mula kepada Hadrianus, kaisar Romawi masa itu
(tahun 117-138 M), demikian : “Mereka saling mengasihi dalam Allah”. Mereka tidak pernah tidak menolong para janda;mereka menyelamatkan anak yatim dari orang-orang yang akan mencelakakannya. Kalau mereka punya sesuatu, mereka memberikannya dengan cuma-cuma kepada
orang yang tidak punya apa-apa; kalau mereka melihat orang asing, mereka membawanya ke rumah, dan merasa bahagia, seolah-olah orang itu saudara sendiri. Mereka tidak menganggap mereka bersaudara dalam pengertian biasa, tetapi bersaudara lewat Roh, dalam Allah. (dikutip dari Mengasihi Allah ; Charles Colson)

Ketika Petrus berkotbah pada hari Pentakosta ada 3000 orang yang bertobat dan menjadi percaya tetapi melalui cara hidup jemaat mula-mula yang demikian, Tuhan menambahkan jumlah orang percaya tiap-tiap hari. Philip Yancey dalam bukunya “Menemukan Tuhan di Tempat Tak Terduga”, menuturkan bagaimana gereja Tuhan berkembang di dalam penjara-penjara di Cile dan Peru. Di penjara yang paling tidak manusiawi sekalipun, yang dihuni oleh banyak narapidana terhukum mati,
tampak ada rasa persaudaraan, sukacita yang sangat besar di tengah ketidaknyamanan dan penderitaan. Perubahan hidup para narapidana menjadi kesaksian bagi narapidana lain dan para sipir penjara. Gaya hidup lebih memiliki gema yang besar dan panjang yang terus berbicara pada orang-orang di sekitar kita. Bagai magnit, gaya hidup dapat menarik orang datang pada Kristus tetapi juga dapat menjauhkan orang dari Kristus. “Saya tidak mau ke gereja bu dokter” kata seorang pasien geriatri waktu saya bertanya kemana dia beribadah ,“Orang gereja suka iri dan bergosip, saya tidak suka, jadi saya tidak pergi ibadah kemanapun, gereja tidak, klenteng pun tidak.”

Banyak dari kita tentu sudah pernah membaca bagaimana Mahatma Gandhi berpendapat tentang Kekristenan, ”Saya suka pada Kristus dan ajarannya tapi saya tidak suka pada pengikutNya.” Cara kita memperlakukan orang lain, penerimaan kita pada orang lain, cara kita bereaksi akan penderitaan orang lain, kepedulian kita akan ketidak adilan yang terjadi di masyarakat, sukacita kita yang meluap
setiap saat merupakan jala yang terbentang lebar yang akan membawa jiwa datang pada Kristus.
Saya pernah bertanya pada seorang pekerja misi di suatu daerah yang termasuk ‘kelompok suku tak terjangkau’ tentang bagaimana dia menghasilkan jiwa di tempat yang sulit tersebut. “ Saya bekerja sebagai guru kesenian” begitu awalnya dia menjawab. Bagi saya sulit membayangkan bagaimana seorang guru kesenian bisa memenangkan jiwa. Akan lebih mudah dipahami jika profesinya adalah dokter atau perawat misi. Dia pun menambahkan,“Saya bergaul dengan banyak orang dalam
hidup sehari-hari, dan ketika kita sudah memiliki hubungan yang akrab dan baik maka semua cerita akan leluasa diceritakan termasuk cerita tentang iman dan keselamatan” Dengan kata lain dia mau berkata : dia melakukan misinya dengan gaya hidupnya. Walaupun dia diutus oleh lembaga misi tertentu untuk ladang misi yang khusus, tetapi ternyata dia melakukannya dengan cara yang
sangat sekuler, melalui hidupnya sehari-hari. 

Suka ataupun tidak, siap ataupun tidak, pantas ataupun tidak, jika kita mengaku pengikut Kristus maka kita pun adalah pekerja misi : dokter misi, perawat misi, mahasiswa misi. Kita mengemban tugas dan tanggung jawab secara penuh waktu menjadi saksi Kristus dimana pun dan kapan pun kita berada. Suatu saat saya pun akan memperkenalkan diri sebagai : “Saya dr Maria, dokter misi,
ladang misi saya RSUD Tarakan Jakarta dan RS Siloam Lippo Karawaci Tangerang.” Bagaimana
dengan anda?

ditulis oleh
dr. Maria Irawati Simajuntak, Sp.PD - KIC
Majalah Samaritan Edisi 2 Tahun 2015
Edisi lengkapnya dapat didownload :
http://issuu.com/samaritanmag/docs/samaritan_edisi_2-2015/1


Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag