Senin, 24 November 2014

Persembahan Tubuh Parameter Persembahan Hati

Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai penderitaan (1 Petrus 1 : 6)


Panggilan untuk menderita merupakan salah satu panggilan religius yang bersifat universal. Di dalam banyak agama dan kepercayaan umumnya terdapat panggilan yang berkaitan dengan penderitaan. Bahkan terdapat bentuk-bentuk penderitaan yang ekstrim serta menyiksa diri, mengasingkan diri, bahkan bunuh diri. Di beberapa sekte Kristen pun dapat penafsiran bentuk penderitaan secara jasmaniah seperti yang kita lihat di Filipina, yaitu penyaliban. Juga didapatkan penderitaan-penderitaan lain seperti puasa, pantang makanan tertentu, pencambukkan, dan lain-lain. Semua ini memiliki tujuan yang universal yaitu keselamatan jiwa atau pemurnian hati nurani.


Di beberapa agama dan kepercayaan bahkan meyakini bahwa penderitaan berguna untuk dapat melihat kehidupan supranatural atau mendapatkan kekuatan-kekuatan supranatural. Tidak heran bila ada pejabat atau pengusaha yang rela pergi berendam di sungai atau mengorbankan anaknya agar jabatan atau usahanya sukses. Di dalam dunia kedokteran pun seringkali kita menemui pasien yang bertanya : apakah ada makanan atau kegiatan yang dilarang agar ia cepat sembuh. Umumnya orang awam beranggapan bahwa obat pahit, pantangan makanan tertentu dan semakin banyak larangan dari dokter akan mempercepat penyembuhannya. Menurut saya, hal ini berkaitan dengan pemikiran umum tentang penderitaan. Orang bersedia menderita untuk mendapatkan sesuatu : kesembuha, kekayaan, kekuatan, keselamatan, dll.

Di dalam Kekristenan pun didapatkan panggilan untuk menderita. Panggilan ini merupakan salah satu bukti penghayatan iman kita pada Tuhan Yesus Kristus. Walaupun demikian, konsep yang mendasari penderitaan setiap orang Kristen sangat berbeda dengan agama-agama yang lain. Di dalam surat Petrus ini jelas tertulis bahwa penderitaan bukanlah upaya untuk mendapatkan keselamatan jiwa atau kedamaian, karena keselamatan jiwa itu sudah dianugerahkan Allah. Penderitaan merupakan fakta dan konsekuensi mengikut Kristus. Lebih lanjut, rasul Petrus menegaskan bahwa penderitaan itu bertujuan untuk memurnikan iman kita, bahwasannya kita bukan orang Kristen sembarangan, yang hanya mau mengecap berkat Allah tetapi menolak penderitaan.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita pun perlu menderita? Jawabnya adalah ya, tanpa kecuali. Sungguh aneh bilamana seorang Kristen tidak pernah merasakan penderitaan. Hal itu menandakan bahwa anugerah keselamatan yang diberikan Allah belum menyentuh lubuk hatinya yang terdalam. Keselamatan itu baru sampai di bibirnya melalui pengakuan lidah dan baru diwujudkan dalamibadah mingguan, persekutuan doa, pemahaman alkitab atau puji-pujian belaka. Bagaimana mungkin seorang Kristen tidak merasakan penderitaan di tengah penderitaan umat manusia yang amat dahsyat sekarang ini.

Beberapa hari yang lalu saya mengunjungi keluarga seorang pasien yang meninggal karena komplikasi kehamilannya. Pasien ini memiliki seorang anak laki-laki berusia sekitar 4 tahun. Saat saya bertemu dengan anaknya ini, ia sedang bermain dengan penuh keceriaan dengan anak-anak sebayanya. Saya menyapanya dan ketika melihat matanya, hati saya diliputi kesedihan yang luar biasa. Ya Tuhan, anak sekecil ini sudah dihadapkan pada penderitaan yang besar, yaitu ditinggal ibunya. Masa-masa cerianya bersama ibu yang dikasihi dan mengasihi lenyap. Bila setiap malam ia dapat menikmati kehangatan kasih ibunya, sekarang ini cuma ilusi. Bila ia sedang sedih, ketakutan, sendirian atau perlu dekapan ibu, ia hanya bisa menangis dan tidak mendapatkan pengganti yang sepadan. Penderitaan anak ini menyadarkan saya bahwa penderitaan umat manusia ada dimana-mana. Penderitaan itu kadang-kadang menyakitkan hati.

Pada saat kita mengendarai mobil, yang didalamnya sejuk dan dihibur oleh alunan lagu rohani yang amat indah, di saat yang sama pula ada banyak orang di sekeliling kita yang hidup dalam kesusahan. Anak-anak kecil yang seharusnya sedang bermanja-manja dengan orang tuanya atau bersekolah harus menerima kenyataan bahwa ia harus mencari uang untuk makan. Banyak remaja dan pemuda yang menatap masa depan yang kosong karena saat ini mereka harus mengisi hari-hari dengan kehampaan. Api semangat yang seharusnya membara dalam diri pemuda sudah padam. Buluh itu sudah terkulai. Ia tidak berani menatap datangnya matahari karena sinarnya akan lebih menyakitkan. Fajar yang datang bukanlah harapan tetapi siksaan.

Bila kita pergi ke daerah-daerah Kristen di Indonesia, seperti Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan lain-lain, maka kita menyadari bahwa mereka penuh dengan penderitaan. Bukan hanya penderitaan fisik, tetapi yang lebih menyedihkan adalah kemiskinan rohani. Kemiskinan rohani inilah yang menyebabkan banyak orang Kristen yang tidak hidup dalam iman yang benar dan semakin memperberat kemiskinan jasmani. Banyak pula hamba-hamba Tuhan yang terhimpit hidupnya dengan kemiskinan sehingga akhirnya mereka tidak dapat hidup layak, tidak dapat menyekolahkan anaknya dengan tuntas, tidak dapat menyenangkan istri dan anaknya saat Natal dengan membelikan baju baru, bahkan tidak dapat menyampaikna firman Tuhan dengan baik karena perut kosong. Saya mengenal seorang hamba Tuhan di Irian Jaya, yang saat ini sedang belajar theologia, yang untuk mencukupi kebutuhannya, ia harus bekerja menjadi kuli di pasar atau buruh bangunan. Saya amat menghargai hidupnya dan menganggap dirinya sebagai teladan Kristus yang mulia. Dari penderitaannya, saya belajar mengenal kasih Kristus lebih dalam, mengenal anugerah keselamatan lebih baik dan menyadari bahwa saya tidak dapat hidup dalam kemewahan dunia sedangkan banyak orang Kristen lain yang menderita. 

Pertanyaan selanjutnya : bagaimana kita harus menderita? Apakah kita harus mengalami penderitaan secara jasmani atau secara nyata pula dalam hidup sehari-hari? Apakah kita harus membuang kekayaan dan hidup menderita seperti orang-orang lain. Jawabnya ya dan tidak. Wactman Nee dalam bukunya 'Persembahan dalam Roma 12' menekankan pentingnya persembahan tubuh sebagai bukti penghayatan kita akan kemurahan Allah, dan hanya orang yang sudah merasakan belas kasihan Allah yang dapat mempersembahkan tubuhnya. Persembahan tubuh itu bersifat konkrit, sedangkan persembahan hati amatlah abstrak. Parameter persembahan hati adalah persembahan tubuh. Terdapat 3 aspek persembahan tubuh yaitu : waktu, harta dan tenaga. Dalam konteks penderitaan, kita pun harus berpartisipasi secara aktif. Tidak hanya 'tergerak, terenyuh, prihatin', tetapi kita pun harus terlibat di dalamnya.

Pada akhirnya, sebagai seorang dokter/dokter gigi Kristen, kitaharus menyadari bahwa kasih Allah yang besar terhadap diri kita, bahwasannya Allah memperkenankan kita untuk bekerja dalam profesi ini, adalah agar kita pun menjadi berkat bagi sesama kita. Penderitaan mungkin merupakan kenyataan yang tiap kali kita jumpai dan saat ini perlu kita kaji ulang : apakah kita sudah menderita bagi Kristus? Apakah terang Kristus di dalam diri kita sudah dinikmati orang lain?

                                                                                                                        dr. Dodi Hendradi, SpOG

Dikutip dari :
Majalah Samaritan Edisi 2/ Mei-Juli 2001

Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag